Oleh: Dr. Adityawarman Adil
Ketua DPRD Kota Bogor
Hari Raya Idul Adha setiap tahunnya selalu menghadirkan kesempatan bagi umat Islam untuk merenungi hakikat ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Lebih dari sekadar penyembelihan hewan kurban, Idul Adha adalah momentum spiritual yang meneguhkan kembali hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya, serta menajamkan kepedulian horizontal kepada sesama manusia. Perayaan ini merangkum kisah keimanan paling monumental sepanjang sejarah manusia: pengorbanan Nabi Ibrahim, keikhlasan Nabi Ismail, dan keteguhan hati Siti Hajar.
Namun refleksi Idul Adha tahun ini menjadi semakin nyata ketika kita menyimak kisah yang terjadi di musim haji 2025. Seorang jemaah asal Libya, Ameer Qadzafi, tertahan di bandara akibat kendala paspor dan dua kali ditinggal pesawat. Namun ia tidak menyerah. Dengan doa dan keyakinan yang kuat, ia berkata: “Aku tidak akan meninggalkan bandara, kecuali menuju Makkah.” Takdir Allah kemudian mengaturnya begitu indah. Pesawat yang semula telah meninggalkannya, justru dua kali kembali karena kendala teknis. Pilot pun bersumpah tak akan terbang ke tanah suci sebelum menjemput Ameer. Akhirnya, ia benar-benar bisa berangkat. Ini bukan sekadar kisah kebetulan, tetapi pelajaran tentang bagaimana kehendak Allah mampu menembus batas nalar dan rencana manusia.
Kontras dengan itu, ribuan calon jemaah dari tanah air yang telah membayar biaya besar—bahkan mencapai hampir satu miliar rupiah—ternyata gagal berangkat karena visa tak kunjung turun. Uang tak mampu membeli kehendak Allah. Dari sini kita belajar bahwa seluruh keberhasilan, pencapaian, atau pergerakan hidup, bukan sekadar buah dari usaha manusia, melainkan buah dari izin dan ridha Allah. Maka jangan sampai kita terlalu yakin pada kekuatan duniawi, dan melupakan hakikat hidup ini sebagai ruang pengabdian kepada Sang Maha Kuasa.
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam riwayat Muslim, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya baik. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan jika tertimpa musibah, ia bersabar.” Maka apakah kita termasuk orang-orang yang bersyukur saat diberi kemudahan, dan bersabar saat diuji dengan penantian atau kegagalan?
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail kemudian menguatkan bahwa pengorbanan sejati bukanlah tentang jumlah harta atau besar pengorbanan secara lahiriah, tapi tentang kesediaan hati untuk tunduk dan patuh pada perintah Allah, bahkan ketika hal itu sangat berat untuk dilakukan. Nabi Ibrahim, yang telah lama menanti kehadiran seorang anak, justru diminta mengorbankan sang putra saat kedekatan antara ayah dan anak tengah tumbuh hangat. Tapi, Ibrahim tidak memaksakan kehendaknya. Ia justru membuka ruang dialog kepada putranya, Ismail, dan menanyakan pendapatnya. Sebuah teladan luar biasa tentang komunikasi dalam keluarga dan penghormatan terhadap kehendak Allah.
Ismail pun menjawab dengan keyakinan yang penuh cinta: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai orang-orang yang sabar.” Tak ada ketakutan, tak ada penolakan, yang ada hanya keikhlasan. Inilah pengorbanan hakiki. Dan ketika keduanya telah pasrah, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba. Maka, kurban yang kita lakukan hari ini adalah jejak sejarah dari ketundukan total itu—yang ikhlas, tanpa syarat, dan penuh pengharapan.
Idul Adha kemudian menjadi pengingat bagi kita semua, terutama dalam membangun masyarakat yang penuh empati, tangguh, dan saling mendukung. Di tengah kehidupan kota yang sibuk dan individualistis seperti Kota Bogor, semangat kurban harus menjadi penguat solidaritas sosial. Kurban bukan hanya urusan menyembelih hewan dan membagikan daging. Ia adalah wujud kepekaan sosial terhadap tetangga yang kesulitan, masyarakat pinggiran yang terabaikan, atau saudara sebangsa yang sedang diuji dengan bencana dan kemiskinan.
Semangat kurban juga menjadi seruan moral untuk para pemimpin—baik di rumah, komunitas, hingga pemerintahan—bahwa kepemimpinan selalu menuntut pengorbanan. Mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Menyisihkan waktu untuk mendengar suara rakyat, dan berani mengambil keputusan berat demi maslahat yang lebih besar. Tanpa keikhlasan, kepemimpinan akan kehilangan ruhnya.
Idul Adha juga merupakan ajakan bagi kita semua untuk membangun peradaban yang dilandasi nilai-nilai spiritual dan sosial. Sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi kepatuhan kepada Tuhan, namun juga membumikan kasih sayang di antara sesama manusia. Kurban yang sesungguhnya adalah ketika kita bersedia melepaskan ego, melawan hawa nafsu, dan menempatkan kemanusiaan sebagai panggilan mulia.
Di kota yang kita cintai ini, Kota Bogor, yang dijuluki kota hujan dan penuh dengan sejarah intelektual serta keberagaman sosial, mari kita jadikan Idul Adha sebagai momen mempererat kebersamaan. Dari masjid ke masjid, dari rumah ke rumah, dari komunitas ke komunitas, mari kita nyalakan semangat pengorbanan, saling peduli, dan hidup sederhana. Karena hakikatnya, tak ada arti dari kekayaan, jabatan, ataupun gelar, jika tak mampu kita arahkan demi kebaikan yang lebih besar.
Idul Adha adalah panggilan untuk menjadi pribadi yang bertakwa, masyarakat yang bersatu, dan bangsa yang rela berkorban demi cita-cita luhur. Semoga Allah menerima ibadah kurban kita semua, mengampuni dosa-dosa kita, dan membimbing kita untuk menjadi hamba yang lebih taat, lebih peduli, dan lebih bermanfaat bagi sesama.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd…